Custom Search

Hukum Anak Zina


Bolehkah Anak Zina Menjadi Imam Sholat Berjamaah ?

Jumhur ulama’ diantaranya:Rata Penuha Imam Ahmad, Atho’, Hasan Al Bashri, Tsauri dan lainnya memperbolehkannya tanpa di makruhkan. Dan ini adalah madzhab yang rajih insya Alloh. Berdasarkan beberapa dalil diantaranya :
1.Mereka tidak menanggung dosa orang tuanya. Sebagaimana firman Alloh :
“Dan seseorang itu tidak menanggung dosa orang lain.” (QS. Al An’am 164)
2.Keumuman sabda Rosululloh :
يؤم القوم أقرؤكم لكتاب الله
“Yang menjadi imam bagi kalian adalah orang yang paling faham terhadap kitabulloh.” (HR. Muslim 290, Abu Dawud 282, Turmudli 235)
(Lihat Al Mughni Imam Ibnu Qudamah 3/72, Asy Syarhul Mumti’ Syaikh Utsaimin 4/355, Al Majmu’ Imam Nawawi 4/249)
• Hanya saja Imam Syafi’I dan Abu Hanifah membenci imam dari anak zina,
• sedangkan Imam Malik bin Anas hanya membenci anak zina jadi imam rowatib. Namun tidak ada dalil kuat yang menunjukkan akan dimakruhkannya keimamahan anak zina. (Lihat Al Umm Imam Syafi’I 1/166, Syarah Fathul Qodir Imam Ibnul Humam 1/247, Al Mudawwanah Imam Malik 1/86)

Nasab Anak Zina

Para ulama’ sepakat bahwa anak zina dinasabkan pada ibunya, bukan pada ayahnya, sebagaimana anak yang di li’an oleh bapaknya. (Lihat Bada’I Ash shona’I Imam Al Kasani 5/363, Al Majmu’ Imam Nawawi 19/48, Al Muhalla Imam Ibnu Hazm 10/323, Al Istidlkar Imam Ibnu Abdil Bar 22/177, Zadul Ma’ad 5/368)
Dalil tentang hal ini :
1.Hadits Ibnu Umar berkata :
“Sesunguhnya ada seorang laki-laki yang meli’an istrinya pada zaman Rosululloh dan menafikan anaknya, maka Rosululloh memisahkan antara keduanya dan menasabkan anak tersebut pada ibunya.” (HR. Bukhori 2/525, Muslim 2/1133)
2.Hadits Aisyah berkata :
“Sa’ad bin Abi Waqqosh dan Abd bin Zam’ah bertengkar mengenai seorang anak. Sa’ad berkata : “Wahai Rosululloh, ini adalah anak saudaraku Utbah bin Abi Waqqosh, dia memesan padaku bahwa dia adalah anaknya, lihatnya pada kemiripan antara keduanya.” Maka Abd bin Zam’ah berkata : “Wahai Rosululloh, ini adalah saudaraku, dia terlahir di firasy bapakku dari budak wanitanya.” Maka Rosululloh memandangnya, dan beliau melihat ada kemiripan yang sangat jelas dengan Utbah bin Abi Waqqosh. Maka Rosululloh bersabda :
هو لك يا عبد بن زمعة الولد للفراش و للعاهر الحجر
“Dia untukmu, wahai Abd bin Zam’ah anak itu milik yang memiliki firasy dan bagi pezina hanyalah kerugian.” (HR. Bukhori 6750, Muslim 2/180)
• Letak pengambilan dalil dari hadits ini bahwasanynya Rosululloh tidak menjadikan bagi pezina laki-laki kecuali kerugian, oleh karena itu si anak dinasabkan pada ibunya karena tidak ada firasy. Adapun si wanita pezina dinasabkannya anak itu padanya karena memang dia yang melahirkan, sama saja apakah kelahiran itu karena nikah ataukah zina. (Lihat Fathul Bari 10/36, Zadul Ma’ad 5/368, Al Majmu’ Imam Nawawi 19/38)
Namun para ulama’ berselisih terntang apabila sang pezina laki-laki mengakunya sebagai anak, dan tidak ada firasy (suami dari istri atau tuan bagi budak wanita) yang menentangnya, apakah bisa dinasabkan padanya ataukah tidak?
• Imam madzhab empat dan Ibnu Hazm mengatakan bahwa anak zina tidak bisa dinasabkan pada bapaknya secara muthlak, meskipun tidak ada firasy yang menentangnya.
• Dalil mereka adalah hadits Aisyah di atas. Disitu Rosululloh bersabda : “Anak itu milik yang ounya firasy dan bagi pezina cuma kerugian.”
• Hadits ini menunjukkan bahwa anak milik yang punya firasy, dan firasy tidak bisa dicapai kecuali dengan dua cara :
1. Akad nikah yang shohih atau yang bathil dan sudah terjadi jima’ syubhah
2. Memiliki budak wanita
seandainya kita nasabkan anak pada pezina laki-laki itu berarti kita menjadikan anak pada selain firasy. Dan ini jelas bertentangan dengan sabda Rosululloh tersebut.
(Lihat At Tamhid Imam Ibnu Abdil Bar 7/183, Al Inshof Imam Al Mardawi 9/269, Roudlotut Tholibin Imam Nawawi 6/44, Al Muhalla 5/363)
• Beberapa ulama’ diantaranya Atho’, Amr bin Dinar, Hasan, Ishaq bin Rohawaih. Mereka berkata apabila tidak ada pemilik firasy lalu anak zina itu ada yang mengakunya, bahwa dia berzina dengan ibunya, maka dia di nasabkan pada yang mengakunya tersebut.
• Mereka menta’wilkan hadits yang dijadikan dasar oleh jumhur dengan bahwasannya anak itu milik firasy kalau ada, namun kalau tidak ada firasy dan ada yang mengaku berzina dengan ibunya maka dia dinasabkan padanya. (Lihat Al Istidlkar Imam Ibnu Abdil Bar 22/177, Tsubutun Nasab oleh Yasin Mahmud Al Khothib hal : 395)
• Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibnul Qoyyim, beliau berkata :
“Qiyas yang shohih menunjukkan akan hal ini, karena bapaknya adalah salah satu yang berzina, maka apabila anak tersebut dinasabkan pada ibunya dan bisa mewarisinya juga adanya hubungan nasab antara ia dengan kerabat ibunya, padahal ibunya pun berzina dengan bapaknya. Si anak itu pun dilahirkan dari air mani keduanya, maka apa yang menghalangi untuk di nasabkan pada bapaknya jika tidak ada yang menentangnya ? Juga pernah Juraij berkata kepada anak yang ibunya berzina dengan seorang penggembala : “Siapakah bapakmu ?” maka si anak menjawab : “Fulan si penggembala.” Ini adalah pembicaraan atas bimbingan Alloh yang tidak mungkin berbohong.” (Lihat Zadul Ma’ad 5/381)
• Madzhab ini juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana disebutkan oleh Imam Al Mardawi dalam Al Inshof 9/269. Wallahu A’lam

Hukum Menikah dengan Putrinya yang Dilahirkan karena perzinaan

Dinukil adanya dua pendapat ulama’ dalam masalah ini.
• Imam Syafi’i dan Malik dalam riwayat yang masyhur dalam madzhab mereka membolehkan menikah dengan anak perempuan dari hasil zinanya. (Lihat Al Um oleh Imam Syafi’i 5/42 3, Al Majmu’ oleh Nawawi 17/386, Roudlotuth Tholibin 5/447, At Tamhid oleh Ibnu Abdil Barr 8/191). Hanya saja Imam Ahmad mengingkari bahwa hal ini pernah di katakan oleh Imam Syafi’i dan Malik (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 32/142) juga Imam Ibnul Qoyyim dan Syaikh Al Albani mengingkari pendapat ini pernah dikatakan oleh Imam Syafi’i (Lihat i’lamul Muwaqqi’in 1/47, Tahdzirus Sajid hal : 53)
Dalil yang mereka gunakan adalah bahwa anak perempuan hasil zina tersebut bukan anak perempuannya secara hukum syar’i, oleh karena itu keduanya tidak saling mewarisi, tidak wajib memberi nafkah dan tidak boleh menjadi wali dalam pernikahan anak wanita tersebut serta tidak berlaku seluruh hubungan nasab antara keduanya, maka kalau memang anak wanita tersebut secara syar’i bukan anaknya, berarti tidak masuk dalam keumuman firman Alloh :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
“Dan diharamkan bagi kalian menikahi ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu…” (QS. An Nisa’ :23)
dan malah kebalikannya termasuk dalam keumuman firman Alloh :
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
“Dan dihalakan bagi kalian semua selain yang demikian.” (QS. An Nisa’ : 24)
• Sedangkan Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan jumhur Ulama’ melarang seorang laki-laki menikah dengan anak wanita hasil zinanya dengan dalil bahwa dia termasuk dalam keumuman firman Alloh Ta’ala, yang artinya :
“Dan diharamkan bagi kalian menikahi ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu…” (QS. An Nisa’ : 23)
karena lafadz : “anak-anak perempuan kalian.” Mencakup semua anak perempuannya dan anak tersebut memang tercipta dari air maninya. (Lihat Al Mughni oleh Imam Ibnu Qudamah 9/529, Bada’i Shona’i oleh Al Kasani 3/1385)
dan madzhab inilah yang benar –insya Alloh -.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah setelah memaparkan kedua madzhab berkata :
“Dan pendapat (kedua) inilah yang benar, sehingga jumhur ulama’ berselisih pendapat apakah orang yang melakukan pernikahan tersebut dihukum bunuh ataukah tidak ? mereka berselisih menjadi dua pendapat. Imam Ahmad menyatakan bahwa yang melakukannya dibunuh apabila tanpa alasan.” (Majmu’ Fatawa 32/134)
Bantahan kepada mazhab pertama :
Adapun apa yang mereka katakan bahwa antara keduanya tidak ada hubungan nasab, maka telah dibantah dengan sangat bagus oleh Syaikhul Islam, Beliau berkata : “Adapun dalil madzhab jumhur Ulama’ adalah firman Alloh (yang artinya):
“Dan diharamkan bagi kalian menikahi ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu…”
(QS. An Nisa’ : 23)
Ayat ini mencakup semua yang disebut sebagai “anak wanita” baik secara hakiki maupun majazi, sama saja apakah antara kedanya terdapat hubungan saling mewarisi dan hukum-hukum nasab lainnya ataukah tidak ? karena keumuman yang terdapat pada ayat tahrim (wanita yang diharamkan menikahinya, yang terdapat pada An Nisa’ : 22-25) itu bukan seperti keumuman yang terdapat pada ayat warisan serta ayat lainnya seperti pada firman Alloh :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
(QS An Nisa’ : 11)
hal ini bisa dijelaskan dari tiga sisi :
Pertama :
Bahwa ayat tahrim mencakup anak wanita, cucu wanita dari anak laki-laki, cucu wanita dari anak wanita, sebagaimana kata : “bibi” juga mencakup bibinya bapak, juga mencakup ibu dan kakeknya bapak. Demikian juga mencakup anak wanita dari saudara wanita, serta anak wanita dari keponakan laki-laki dan anak wanita dari keponakan wanita. Dan keumuman seperti ini tidak terdapat dalam ayat warisan juga ayat lainnya yang berhubungan dengan hukum nasab.
Kedua :
Sesungguhnya haramnya menikah bisa terjadi karena sebab susuan, sebagaimana sabda Rosululloh :
“Diharamkan karena hubungan persusuan sebagaimana diharamkan karena hubungan nasab.”
(HR. Bukhori Muslim)
Hadits ini disepakati keshohihannya serta diamalkan oleh seluruh para ulama’. Dari sini Alloh mengharamkan seorang wanita untuk menikah dengan seorang laki-laki yang pernah dia beri minum air susunya, juga tidak boleh baginya untuk menikah dengan anak keturunan anak tersebut, dan anak tersebut tidak boleh menikah dengan ibu serta bibi dari ibu susunya, bahkan anak susu wanita haram menikah dengan suami ibu susunya, maka jika seorang laki-laki haram menikah dengan anak wanita yang disusui istrinya padahal antara keduanya tidak ada hubungan nasab apapun selain sekedar menjadi mahrom saja, lalu bagaimana halal menikah dengan anak wanita hasil zinanya ? padahal dia tercipta dari air maninya ? mana yang lebih berat antara yang tercipta dari air maninya ataukah yang sekedar minum air susu istrinya ?
Ketiga :
Alloh berfirman :
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
“Dan istri anak-anak kandung kalian.” (QS. An Nisa’ : 23)
Para ulama’ berkata : Hal ini untuk mengeluarkan anak angkatnya, sebagaimana dalam firman Nya :
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ
“Dan Alloh tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kalian(QS. Al Ahzab : 4)
dan diketahui bersama bahwa orang-orang pada zaman jahiliyyah mereka menganggap anak zina sebagai anaknya itu lebih mereka utamakan daripada anak angkat, maka kalau Alloh mengkhususkan keharaman hanya untuk anak anak kandung, berarti lafadz : “anak-anak wanita kalian.” Mencakup semua anak wanita yang masuk dalam cakupan bahasa mereka saat itu.
Adapun yang mereka katakan bahwa keduanya tidak saling mewarisi, maka jawabannya bahwa hukum nasab itu bisa terpisah-pisah, mungkin saja berlaku sebagian hukum nasab tanpa sebagian lainnya, sebagaimana sebagian besar yang menentang jumhur ulama; dalam masalah ini sepakat bahwa anak yang di li’an itu haram bagi bapak yang meli’annya namun tidak mewarisinya, juga sebagaimana kisah Abd ibnu Zam’ah, dimana setelah Rosululloh menghukumi bahwa anak itu adalah saudara Abd ibnu Zam’ah, namun beliau berkata kepada Saudah binti Zam’ah : “Berhijablah engkau darinya wahai Saudah.”
Di hadits ini Rosululloh menjadikannya sebagai saudara Saudah dalam hal saling mewarisi namun tidak dalam kemahroman.” (Lihat Majmu’ Fatawa 32/142 dengan sedikit diringkas, dan lihat pula Tafsir Ibnu Katsir 1/469, Jami’ Ahkamin Nisa’ 3/43)

Hukum Warisan Anak Zina

Anak zina tidak saling mewarisi antara dia dengan bapak zinanya, karena tiak ada hubungan nasab antara keduanya sama sekali, juga tidak saling mewarisi antara dia dengan keluarga bapak zinanya. Berdasarkan hadits riwayar Amr bin Syu’aib dar bapak dari kakeknya bahwasannya Rosululloh bersabda :
أيما رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد الزنا لا يرث و لا يورث
“Siapa saja lelaki yang berzina baik dengan wanita merdeka ataupun budak, maka anaknya anak zina tidak mewrisi dan tidak diwarisi.” (Shohih, lihat Shohih Turmudli 2113dan Tahqiq Misykah 3054)
Adapun antara dia dengan ibunya, maka keduanya saling mewarisi dengan kesepakatan para ulama’ (Lihat Al Mughni 9/114, Al Muhalla 9/302, Al Majmu’ 17/245)
Tentang cara mewarisi antara keduanya, untuk warisan anak dari ibunya maka sebagaimana hukum anak lainnya. Namun untuk warisan ibu dari anak zinanya, ada perbedaan pendapat yang cukup tajam diantara para ulama’.
I. Imam Syafi’I, Malik, Abu Hanifah, Said bin Musayyib, Umar bin Abdul Aziz dan lainnya mengatakan bahwa anak zina apabila meninggal dunia , maka hartanya diwarisi oleh ibunya dan saudara-saudaranya seibu sebagaimana yang disebutkan oleh Alloh dalam Al Qur’an lalu sisanya diberikan pada baitul mal ummat islam.
Dalil mereka adalah :
Bahwasannya hak mewarisi itu telah ditetapkan dengan nash, sedang tidak ditemukan nash yang memberikan bagian ibu diatas seprtiga, juga saudara seibu tidak lebih dari seperenam. Adapun bapaknya ibu serta kerabat ibu lainnya tidak ada bagian warisnya
II. Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, Sya’bi, An Nakho’I, Ats Tsauri, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar mengatakan bahwa harta warisan anak zina milik ibunya secara ashobah, kalau ibunya tidak ada maka diberikan pada ashobah ibunya
Dalil mereka adalah :
1.Dari Amr bin Syu’aib dari bapak dari kakeknya berkata : “Sesunguhnya Rosululloh menjadikan warisan anak yang di li’an untuk ibunya kemudian untuk ahli waris ibunya setelahnya.” (HR. Abu Dawud 2/112, Darimi 2/364 dengan sanad shohih, lihat shohih Abu dawud 2/220/2907)
letak pengambilan dalil bahwa ibunya mewarisi dengan cara ashobah, bahwa dalam kaedah ilmu faraidl orang yang jadi penyambung ahli waris yang ashobah maka dia mesti ashobah juga. Maka kalau keluarga dari jalur ibu ashobah berarti ibunya pun ashobah. (Lihat Tashilul faraidl hal : 48)
2.Karena ibu bagi anak zina adalah semacam ibu bapaknya dalam hal nasab, maka diapun mengambil semua sisa warisannya sebagaimana seorang bapak.(Lihat Al Mughni 9/118)
III. Sementara Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ibnu Sirin dan Ahmad dalam riwayat lainnya mengatakan bahwa harta anak zina diwarisi oleh ibunya sesuai dengan ketentuan Al Qur’an. (mungkin 1/3 atau 1/6) lalu sisanya untuk ashobah ibunya.
Dalil mereka adalah :
1.Sabda Rosululloh :
ألحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فلأولى رجل ذكر
“Berikanlah bagian warisan pada yang berhak, lalu sisanya berikan pada laki-laki yang paling dekat.” (HR.Bukhori 8/187, Muslim 3/1233)
Dan laki-laki yang paling dekat hubungan kekeluargaan dengan anak zina adalah kerabat ibunya yang laki-laki
2.Beberapa atsar dar sahabat, misal Ali bin Abi Tholib tatkala merajam wanita yang berzina, beliau mengatakan pada wali wanita tersebut : “anak ini (anak yang dihasilkan dari zina) adalah anak kalian, kalian mewarisinya dan diapun mewarisi kalian.”
3.Seandainya sang ibu mendapat ashobah seperti bapak, pasti akan menghalangi bagian saudaranya. Dan hal ini tiak ada seorangpun yang mengatakannya. (Lihat Al Mughni 9/118)
Pengaruh khilaf ini pada raktek pembagian warisan :
Seandainya ada anak zina meninggal yang meninggalkan ibu dan paman dari jalur ibu. Dalam madzhab pertama ibunya mendapatkan sepertiga lalu sisanya diberikan pada baitul mal, dalam madzhab kedua ibu mendapatkan seluruh harta sedang paman tidak mendapatkan apa-apa, dan dalam madzjab ketiga ibu mendapatkan sepertiga dan sisanya untuk paman. (Lihat Al Majmu’ Imam Nawawi 17/247, Al Mughni 9/118)
Yang rajih diantara ketiga madzhab ini –wallohu a’lam- adalah madzhab kedua karena keshohihan dan kejelasan dalil mereka, adapun dalil madzhab pertama dan ketiga adalah umum yang bisa dikhususkan. Ini adalah yang dikuatkan oleh Syaikhul islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Utsaimin. (Lihat Tashilul Fara’idl hal : 48)
Adapun warisan saudara anak zina, maka sebagai berikut :
1. Antara dia dengan saudara sebapak tidak saling mewarisi, karena tidak ada hubungan antara keduanya disebabkan hubungan dari jalur bapak terputus.
2. Saudara seibu mewarisi bagiannya, sebagaimana dijelaskan oleh Alloh Ta’ala dalam surat An Nisa’ : 12
3. Saudara kandung tidak mewarisi dengan bagian saudara kandung, namun mewarisi dengan bagian saudara se ibu, sampaipun kalau anak zina lahir kembar tetap warisannya dengan bagian saudara seibu karena keduanya tidak meiliki bapak. (Lihat Roudlotut Tholibin oleh Imam Nawawi 6/44)
Faedah :
Khilaf yang ada ini dengan catatan kalau anak zina tersebut tidak mempunyai ashobah sendiri seperti anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki dan keturunan mereka. Adapun kalau dia mempunyai ashobah sendiri maka masalahnya menjadi jelas bahwa ibu mendapatkan bagian sebagaimana yang tertera pada An Nisa : 12 dan sisanya untuk ashobahnya.
Wallahu a’lam

Sumber : http://www.ahmadsabiq.com

Download ebook Hukum Anak Zina